Injil masuk di wilayah Sulawesi Tenggara pada tahun 1916 yang dipelopori oleh seorang berkebangsaan Belanda yakni Ds. Hendrik Van Der Klift. Dalam misi pekabaran Injilnya, Van Der Klift bersama isterinya, A.G. Van Der Klift Sniyer, memulai dengan membangun masyarakat melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, kesehatan dengan mendirikan poliklinik-poliklinik, pertanian dengan cara mengajar berkebun dan bersawah, membangun perkampungan yang teratur, dan memberikan latihan keterampilan seperti pertukangan dan keterampilan kewanitaan.
Pada Tahun 1918 di Mowewe, dilakukanlah pembaptisan pertama atas murid-murid Van Der Klift. Yaitu Wala Wongga (Petrus Wongga), Lama Tungga, Tabeke, dan Korahi bersama dengan anak-anaknya. selain pekabaran Injil, Ds. Hendrik Van Der Klift bersama isterinya juga telah meletakkan dasar-dasar pelayanan kesehatan dan pendidikan modern bagi masyarakat. Van Der Klift kemudian mengembangkan wilayah kegiatannya ke daerah lain seperti Sanggona (Mowewe Utara), Rate-Rate, Lambuya, Puriala, Kendari, Moronene, dan akhirnya keseluruh jazirah Sulawesi Tenggara.
Pada Tahun 1942, para missionaris dari Belanda harus kembali ke negara mereka karena Jepang telah menguasai daerah Sulawesi Tenggara. Agar pekabaran Injil terus berlangsung, maka sebelum Ds. Hendrik Van Der Klift meninggalkan Jazirah Sulawesi Tenggara, dilakukanlah pentahbisan GURU-GURU INJIL. Dalam perjalanan pekabaran Injil selanjutnya, yang dilakukan oleh GURU-GURU INJIL, banyak hambatan dan tantangan terutama karena warga gereja yang tercerai-berai dan menyembunyikan diri, keuangan gereja yang nihil, penyitaan aset-aset gereja oleh Jepang, lalu menyangkut masalah sarana-prasarana yang sangat terbatas, kondisi sosial, ekonomi, dan politik saat itu yang tidak mendukung.
Hal ini menyebabkan terjadinya sikap iman yang berbeda-beda sehingga beberapa Guru Injil tidak dapat meneruskan misi pekabaran Injil, menjadi pasif bahkan kemudian beralih keyakinan. Tetapi beberapa di antaranya, dalam keyakinan akan kebenaran Injil, tetap melakukan pekabaran Injil.
Pertemuan D.N. Boonde dan Luther Indabio dengan Pdt S. Myahira (bangsa Jepang / Prive Sekretaris Gubernur Selebes) dikantor Selebes Kristokyo Rengokai di Makassar menghasilkan keputusan :
- Pembentukan Badan Gereja yang diakui oleh Selebes Kristokyo Rengokai.
- Mengukuhkan F. Sonaru, B. Rere, D.N. Boonde dan Luther Indibio sebagai pemimpin Badan Gereja tersebut.
- Menyetujui guru-guru sekolah merangkap sebagai guru jemaat, dan
- Adanya bantuan keuangan (tetapi tidak pernah terlaksana).
Kekalahan Jepang pada perang dunia ke-2 mengantarkan para missionaris Belanda kembali melanjutkan pelayanan di Indonesia. Tentara NICA terus berusaha menduduki seluruh wilayah Indonesia termasuk Sulawesi Tenggara, sehingga pada Tanggal 19 Nopember 1945 terjadi pertempuran antara Tentara Kemerdekaan Rakyat (TKR) dengan tentara NICA di Kolaka. Karena situasi ini, Ds. Hendrik Van der Klift tidak dapat meneruskan perjalanannya ke Kolaka dan kemudian kembali ke Belanda untuk melaporkan keadaan gereja di Sulawesi Tenggara.
Karena situasi di Sulawesi Tenggara yang dilaporkan oleh Van der Klift, badan Zending (Nederland Zendingsvereeniging/ NZV) kemudian menyerahkan tanggung jawab pertumbuhan gereja di Sulawesi Tenggara kepada gereja Hervormed (NHK) yang kemudian pada tahun 1946 mengutus 3 (tiga) orang pendeta ke Sulawesi Tenggara yakni, Ds. J. Schurman, Ds. L. Boor, Ds. Th. Schurmans. Bulan Oktober 1946 diadakanlah pertemuan di Lambuya untuk pengaturan pelayanan Jemaat dan Pekabaran Injil untuk mempercepat pertumbuhan
Sumber : Dokumen BPM Sinode GEPSULTRA