PUASA DIAKONAL

”PUASA DIAKONAL”

Menghayati Dan Memaknai Peringatan

Minggu-Minggu Sengsara Tuhan Yesus

“Berpuasa yang Kukehendaki ialah…supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6b-7)

 

  1. PREMIS (DASAR PIKIRAN).

          Rapat Kerja I Majelis Sinode GEPSULTRA tahun 2017 di Konawe telah memutuskan melalui peraturan khusus, bahwa seluruh jemaat GEPSULTRA sepakat melaksanakan “Puasa Diakonal” di Minggu-Minggu Sengsara Tuhan Yesus.

          Secara faktual dan konseptual, topik ini menarik untuk dikaji dan direnungkan dalam konteks GEPSULTRA. Sebab secara faktual, pada umumnya warga Jemaat GEPSULTRA menghayati dan memaknai peringatan Minggu-Minggu Sengsara selama 7 minggu baru pada tataran Ibadah Liturgis saja, dan kalau pun ada yang disebut kegiatan Pra-Paskah Jemaat maka kegiatannya biasanya adalah “porseni” dan hal itu hanya berlangsung di minggu terakhir sebelum Paskah.

          Demikian juga secara konseptual, selain melaksanakan Ibadah Liturgis, GEPSULTRA belum memiliki landasan pemahaman yang jelas dan kuat untuk meletakkan dan membangun tradisi Puasa dalam rangka penghayatan dan pemaknaan Minggu-Minggu Sengsara Kristus secara persekutuan-kelembagaan.

          Berdasarkan itulah, maka premis utama yang perlu dijawab ialah: “Selain Ibadah Liturgis Hari Minggu, apakah yang dilakukan setiap warga Jemaat GEPSULTRA secara nyata selaku satu persekutuan dalam rangka menghayati dan memaknai Minggu-Minggu Sengsara Kristus?”

  1. PENJELASAN ISTILAH.

          Kata  “puasa” umumnya dipahami sebagai tindakan atau perbuatan tidak makan dan tidak minum dengan sengaja dalam jangka waktu tertentu, terutama bertalian dengan hidup keagamaan.

          Tetapi kita akan lihat dalam kesaksian Alkitab bahwa pengertian puasa tidak selalu dalam arti “tidak makan dan tidak minum”.

          Meskipun demikian adalah benar bahwa semua pelaksanaan jenis puasa dalam Alkitab selalu mengandung arti “menahan diri atau berpantang terhadap sesuatu barang milik sendiri untuk tidak dimakan  atau digunakan dalam kurun waktu  tertentu untuk maksud secara rohani atau hidup keagamaan.”

          Sedangkan kata “diakonal” merupakan kata sifat yang berasal dan dibentuk dari kata benda bahasa Yunani “diakonia” yang berarti “pelayanan” (yang menunjuk pada pemberian atau bantuan kemanusiaan). Jadi penggunaan kata “diakonia” dalam bentuk kata sifat “diakonal” ini sangat penting karena menerangkan cara dan tujuan dari puasa yang dilakukan.

            Dari penjelasan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa istilah “puasa diakonal” berarti “menahan diri atau berpantang terhadap sebagian barang milik sendiri untuk tidak dikonsumsi atau tidak digunakan dalam kurun waktu tertentu dan diberikan atau dipersembahkan secara khusus demi pelayanan kemanusiaan (=diakonia) yang bermakna  spiritual ”.

3.  LANDASAN TEOLOGIS-ALKITABIAH.

          Apakah “puasa diakonal” dapat dipertanggungjawabkan secara Teologis-Alkitabiah (= berdasarkan kehendak Tuhan melalui firman-Nya)?

          Dalam kesaksian Alkitab kita mendapati ada tiga jenis puasa yang Tuhan kehendaki dilakukan umat-Nya dalam kehidupan mereka, yaitu:

  1. Berpuasa dalam arti menahan diri atau berpantang untuk tidak makan dan tidak minum selama kurun waktu tertentu.

Ini adalah jenis puasa yang lazim dilakukan dalam kehidupan umat Allah. Dalam Perjanjian Lama, umat Israel melaksanakannya selain yang sifatnya wajib (Im.16:29,31; 23:27-32; Bil.29:7; Zak.8:19), ada juga yang dilakukan sewaktu-waktu secara spontan atau sukarela, baik perseorangan maupun secara bersama dengan maksud untuk menyatakan dukacita, pertobatan, sikap merendahkan diri dan untuk meminta bimbingan serta pertolongan Tuhan (Lihat Hak 20:26; Yoel 1:14; I Sam 1:12; 3:35; 7:6; II Sam 12:16-23; Neh 1:4; 9:1-2; Est 4:3,15-17; I Raj 21:27; Dan 9:3-4; Yun 3:5-8; Ezr 8:21-23;  10:6; Kel 34:28; Ul 9:9).

Dalam Perjanjian Baru, umat Yahudi tetap melaksanakan puasa yang wajib itu (bnd. Kis 27:9). Selain itu ada juga yang melakukannya sewaktu-waktu secara spontan dan sukarela, yakni: orang-orang Farisi (Luk 18:12; Mat 9:14); Yohanes Pembaptis dan murid-muridnya (Mat 9:14); orang Yahudi lain yang saleh, seperti Hana (Luk 2:37); Rasul Paulus (II Kor 6:5; 11:27); para rasul, pemimpin dan jemaat di Antiokhia (Kis 13:2-3; 14:23), bahkan juga Tuhan Yesus (Mat 4:2).

2. Berpuasa dalam arti menahan diri atau berpantang dari makanan dan minuman tertentu.

Dalam Alkitab, puasa jenis ini memang tidak lazim dan hanya pernah dilakukan sekali oleh seorang tokoh terkenal dalam Alkitab, yaitu Daniel, dimana ia tidak makan daging dan minum anggur selama tiga minggu penuh (Dan 10:2-3).

 

3.   Berpuasa dalam arti menahan diri atau berpantang terhadap sebagian barang milik sendiri untuk tidak dikonsumsi atau tidak digunakan dalam kurun waktu tertentu demi pelayanan kemanusiaan.

Ini juga merupakan jenis puasa yang tidak lazim. Dalam Alkitab, informasi tentang puasa jenis ini hanya  terdapat dalam Kitab Yesaya 58. Melalui kesaksian nabi Yesaya tersebut kita mengetahui bahwa pernah sekali waktu Tuhan muak, mencela dan menolak puasa yang lazim dilakukan umat-Nya oleh karena mereka melakukannya penuh dengan sikap mementingkan diri sendiri, serakah, sombong,  dan munafik (Yes 58:3c-6a). 

Itulah sebabnya, maka Tuhan berfirman kepada nabi Yesaya untuk memberitahukan kepada umat-Nya tentang puasa yang Dia kehendaki (Yes 58:6b-7), yang intinya berbunyi demikian:

       “Berpuasa yang Kukehendaki ialah…supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!”

           Jika hendak dijelaskan dengan bahasa gerejawi dalam konteks kita sekarang ini, maka Firman Tuhan di atas sangat jelas berbicara tentang puasa yang bersifat diakonia atau bisa disebut “Puasa Diakonal”, yaitu: berpuasa dalam arti menahan diri atau berpantang terhadap sebagian barang milik sendiri untuk tidak dikonsumsi atau tidak digunakan dalam kurun waktu tertentu dan diberikan atau dipersembahkan secara khusus demi pelayanan kemanusiaan sebagai ungkapan iman terhadap kehendak Tuhan.”

Dalam Alkitab, inilah satu-satunya jenis puasa yang disebutkan secara gamblang oleh Tuhan sendiri sebagai puasa yang sungguh berkenan dan menyenangkan hati Tuhan. Bahkan bagi setiap orang yang melakukannya, kepadanya berlaku janji berkat yang sungguh indah (Yes 58:8-12), yakni:

  • Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera;
  • Kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan Tuhan barisan belakangmu;
  • Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan berteriak minta tolong, laluTuhan akan menjawab dan berkata: Ini Aku!;
  • Terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari;
  • Tuhan akan menuntun engkau senantiasa;
  • Tuhan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering;
  • Tuhan akan membarui kekuatanmu;
  • Engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan;
  • Engkau akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan memperbaiki dasar yang diletakkan oleh banyak keturunan;
  • Engkau akan disebutkan :“yang memperbaiki tembok yang tembus” dan ”yang membetulkan jalan supaya tempat itu dapat dihuni”

           Meskipun demikian, Tuhan tentu tidaklah menolak jenis puasa lainnya selama hal itu dilakukan dengan motivasi dan maksud yang benar. Tetapi apakah Tuhan Yesus memperkenankan orang percaya (orang Kristen) untuk melaksanakan puasa?

Dalam Injil Matius 9:14 pertanyaan yang sejajar muncul dari pihak murid-murid Yohanes Pembaptis kepada Tuhan Yesus: “Mengapa kami dan orang-orang farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” (Mat. 9:15)

      Namun adakah atau sudakah kita  melaksanakan puasa untuk mengingat Sang Mempelai, yakni Kristus, atas karya korban-penyelamatan-Nya?

4.  LANDASAN TRADISI GEREJA.

          Apakah “puasa diakonal” memiliki landasan historis dalam tradisi gereja? Jauh sebelum Gereja Protestan lahir, penetapan “tahun gerejawi” (hari-hari raya gerejawi) telah baku dalam kehidupan gereja kuno, termasuk tradisi masa puasa 40 hari sebelum Paskah (Minggu-Mingu  Sengsara).

          Tetapi seperti dikatakan Prof.Dr.Christiaan de Jonge, bahwa gereja-gereja Protestan begitu lama tidak mengindahkan atau tidak memperhatikan keseluruhan “tahun gerejawi” yang telah baku dalam tradisi gereja kuno. Namun pada akhir abad  ke-19, karena pengaruh hubungan-hubungan oikumenis, maka gereja-gereja Protestan mulai memperhatikan pelaksanaan seluruh tahun gerejawi mulai dari Minggu Advent pertama sampai dengan Minggu terakhir sebelum Advent.

          Sehubungan dengan pelaksanaan masa puasa 40 hari sebelum Paskah atau selama Minggu-Minggu Sengsara, tradisi gereja kuno memang melaksanakannya dalam arti puasa yang lazim, yakni tidak makan dan tidak minum dalam kurun waktu tertentu pada setiap sehari  (Lih. Gereja Toraja, “Membangun Jemaat” No.82 Tahun 2011, hal.57).

          Tetapi ketika tradisi puasa di minggu-minggu sengsara hendak diangkat atau dihidupkan kembali oleh sebagian Sinode dari Gereja Prostestan (a.l. Gereja Masehi Injili Minahasa - GMIM), maka jenis puasanya diganti dengan apa yang disebut: “Puasa Diakonal”.

          Perubahan jenis puasa tersebut dapat dimungkinkan dan diterima sebab tradisi pelaksanaan masa puasa 40 hari di Minggu-Minggu Sengsara bukanlah aturan yang ditetapkan langsung oleh Tuhan, melainkan sebagai hasil kajian teologis-Alkitabiah dari gereja untuk menyatakan ungkapan iman gereja yang nyata secara lahiriah dalam menghayati dan memaknai Minggu-Minggu Sengsara Tuhan Yesus.

          Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa sebagai gereja seharusnya kita lebih terbuka dan sungguh-sungguh memberi perhatian untuk melaksanakan puasa di Minggu-Minggu Sengsara Kristus berdasarkan beberapa alasan prinsip:

  1. Bahwa tradisi gereja kuno telah meletakkan pelaksanaan masa puasa 40 hari di Minggu-Minggu Sengsara Tuhan Yesus.
  2. Bahwa pelaksanaan “Puasa Diakonal” dapat dipertanggungjawabkan secara teologis-Alkitabiah.
  3. Bahwa “Puasa Diakonal” merupakan salah satu ungkapan iman yang sangat nyata dan tepat dalam rangka menghayati dan memaknai Minggu-Minggu Sengsara Kristus.

5. WAKTU PELAKSANAAN PUASA.

Sebagaimana halnya dengan jenis puasa lainnya, waktu pelaksanaan “Puasa Diakonal” pada dasarnya dapat dilakukan kapan saja tergantung niat atau komitmen iman dari setiap orang percaya yang hendak melaksanakannya.

Tetapi jika hal itu hendak dilaksanakan selama 40 hari dalam Minggu-Minggu Sengsara, maka perhitungan waktunya mesti dipahami sebagai berikut:

  • Minggu Sengsara bagi GEPSULTRA dilaksanakan selama 7  Hari Minggu.
  • Puasa tidak dilaksanakan pada hari Minggu (= 7 hari), hari Jumat Agung (= 1 hari), dan hari Sabtu Teduh (=1 hari) sebelum hari Paskah, maka berarti ada 9 hari tidak dilaksanakan puasa.
  • Puasa dilaksanakan setiap hari senin sampai hari sabtu di tiap minggu, dan nanti berakhir pada hari kamis sebelum hari Jumat Agung. Maka hitungannya ialah: 49-9 = 40 hari.

Demikian untuk tahun-tahun selanjutnya, cara menghitung penanggalan waktu puasa harus disesuaikan atau tergantung pada tanggal berapa dimulainya Minggu Sengsara I.

6. SARANA DAN CARA PELAKSANAAN PUASA.

“Puasa Diakonal” dilaksanakan dengan menggunakan paling kurang dua sarana, yakni : beras dan uang, dengan cara seperti beberapa contoh berikut ini:

  • Bila seseorang atau sebuah keluarga biasanya memasak misalnya 2 liter beras untuk dimakan dalam sehari, maka kurangilah 1 atau ½ gelas dari dalam 2 liter itu untuk dipuasakan.
  • Bila seseorang atau sebuah keluarga biasanya belanja sehari untuk ikan, sayur, dll seharga misalnya Rp 20.000, maka kurangilah Rp 500 atau Rp 1000 atau 2000 dari dalam Rp 20.000 itu untuk dipuasakan.
  • Bila seseorang biasa merokok 1 bungkus sehari dengan harga misalnya Rp 10.000,- maka kurangilah Rp 1000 atau 5000 dari dalam Rp 10.000 itu untuk dipuasakan, atau bahkan bisa dipuasakan seluruhnya.
  • Bisa juga jika seseorang atau sebuah keluarga menghitung semua uang yang biasanya dikeluarkan/digunakan dalam sehari, misalnya Rp. 50.000, maka sisihkanlah seberapa dari  jumlah keseluruhan itu untuk dipuasakan.
  • Untuk anak-anak sekolah, bila uang  jajan sehari biasanya Rp 2000 atau 5000, maka kurangilah Rp 500 atau 1000 dari dalam uang jajan itu untuk dipuasakan.

Jadi beras atau uang itu harus dikumpulkan setiap hari selama 40 hari masa puasa diakonal:

  • beras bisa ditampung di kantong plastik atau pada wadah tertentu.
  • uang dikumpulkan di amplop khusus yang telah disediakan oleh Majelis atau disediakan sendiri.

Kemudian seluruh hasil puasa diakonal itu dibawa pada Hari Jumat Agung untuk dipersembahkan kepada Tuhan dan didoakan bersama persembahan lainnya.

7. TUJUAN PELAKSANAAN PUASA.

Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan “Puasa Diakonal” di Minggu-Minggu Sengsara Kristus dalam persekutuan orang percaya/gereja mencakup dua segi:

  1. Segi Rohani, antara lain berarti:
  • Untuk mewujudkan salah satu ungkapan iman yang sangat nyata dan tepat dalam rangka menghayati dan  Minggu-Minggu Sengsara Tuhan Yesus.
  • Untuk mendidik setiap orang percaya dalam menghayati dan memaknai kesengsaraan Tuhan Yesus sebagai ungkapan iman yang lebih nyata, yakni bahwa kalau Tuhan Yesus mau menjalani penderitaan demi umat manusia, maka kitapun harus mau berbuat sesuatu untuk kemanusiaan demi kemuliaan nama Tuhan meski harus “menderita-dikurangi” atau “menderita-kehilangan” sebagian  milik yang biasa kita konsumsi atau gunakan di setiap hari.
  • Untuk meningkatkan kualitas hidup beriman sebagai orang yang penuh kasih, rendah hati, murah hati, tidak serakah, tidak sombong, tidak mementingkan diri sendiri, suka menolong dan berbagi, sebagaimana Tuhan Yesus telah memberikan teladan melalui penderitaan-Nya hingga mati di kayu salib.

2. Segi Persekutuan-Kelembagaan, antara lain berarti :Untuk memenuhi salah satu tugas panggilan gereja, yakni pelayanan diakonia.

                     Untuk menopang kebutuhan pelayanan diakonia yang diprogramkan dalam Jemaat:

                    beras yang terkumpul dapat dibagi untuk didiakoniakan ke Panti Asuhan GEPSULTRA di Lambuya, dan sebagiannya juga bagi anggota jemaat setempat yang layak mendapat diakonia.

 

   uang yang terkumpul (80%) untuk menambah dana diakonia jemaat bagi orang sakit, orang miskin, para janda /anak yatim, dukacita-kematian, dll.

           Untuk menopang kebutuhan pelayanan di Klasis (10%) dan Sinode (10%) dari jumlah uang yang telah dikumpulkan itu sesuai keputusan Rapat Kerja I Majelis Sinode tahun 2017 sebagai bagian dari program secara sinodal.

♥♥♥♥♥♥

 

KEPUSTAKAAN

Alkitab (TB, 1974), LAI, Ciluar Bogor 1992.

de Jonge, Christian         

      1999   Apa Itu Calvinisme, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM),

      1994  Bertumbuh Dalam Kristus, IPAIT, Tomohon.

Gereja Toraja (GT),

      2011  Membangun Jemaat No.82, Rantepao.

Noordegraaf, A.

      2011 Orientasi Diakonia Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta (Terjemahan: D.Ch.Sahetapy-Engel).

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI),

      2003  Buku Almanak Kristen Indonesia, Jakarta.

 

“Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan  korban syukur kepada Allah,  yaitu ucapan bibir yang  memuliakan nama-Nya.  Dan janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah”

(Ibrani 13:15-16)                   

Penulis

Pdt.Stepen Saemani, S.Th 

Ketua Klasis Kendari-Konawe Utara

Membagikan

Dorongan Anda sangat berharga bagi kami

Cerita Anda membantu mewujudkan situs web seperti ini.